
BANDA ACEH – Sebanyak 8 ribuan mahasiswa baru Universitas Syiah Kuala (USK) akan menyaksikan penayangan perdana film “My Love Aceh”.
Penayangan film tersebut akan dilakukan pada Acara Kegiatan Pembinaan Akademik dan Karakter Mahasiswa Baru (Pakarmaru) USK, Senin-Rabu (12-14/8/2024) di Gedung AAC Dayan Dawood USK, Darussalam, Banda Aceh.
Tim peneliti dalam menghasilkan film My Love Aceh terdiri dari Dr Hamdani M Syam MA, Rizanna Rosemary PhD, dan Deni Yanuar M.Ikom yang merupakan dosen dari Program Studi Ilmu Komunikasi USK.
Ketua Peneliti, Dr Hamdani M Syam MA mengatakan, dalam menggarap film ini pihaknya menggandeng 10 mahasiswa melalui program penelitian Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) serta Karya Media.
Dijelaskannya, film My Love Aceh mengangkat soal edukasi literasi informasi dengan tujuan untuk bisa mengedukasikan penonton yang masih mempunyai pandangan negatif terhadap Aceh.
“Masih ada masyarakat di luar sana yang masih mempunyai persepsi negatif terhadap Aceh. Seakan-akan Aceh daerah yang sangat seram, daerah ganja, cambuk dan sebagainya,” ujarnya, Sabtu (10/8/2024).
“Itu pandangan yang salah, sesungguhnya Aceh tidak demikian. Tentu ini ada pengaruh dari aliran informasi yang tidak seimbang dan sangat komplek apalagi di era media sosial sekarang ini” sambung Hamdani.

Ia mengatakan, film My Love Aceh ini sudah dilakukan uji publik di depan para pakar, profesor serta pengamat sosial termasuk di hadapan dosen dan mahasiswa pertukaran pelajar dari Faculty of Social Sciences and Humanities, Universiti Teknologi Mara (UTM) Johor Bahru Malaysia.
“Alhamdulillah mendapatkan sambutan yang sangat bagus. Mereka yang menyaksikan itu mengatakan bahwa banyak nilai edukasi yang ditampilkan dalam film My Love Aceh terutama edukasi literasi informasi,” tambah Hamdani.
Selain itu, Hamdani mengatakan bahwa film ini berdurasi selama 40 menit, menyampaikan kisah mengenai seorang mahasiswa baru bernama Evan yang mempunyai persepsi salah tentang Aceh yang dia dapatkan dari berbagai platform media sosial.
Namun setelah ia berinteraksi dengan kedua teman dekatnya yang berasal dari Aceh, Keumala dan Nabil, dalam sebuah pertualangan mencari harta karun, persepsi Evan pun berubah.
Bahkan ia menyadari bahwa selama ini ia banyak dipengaruhi oleh informasi yang salah tentang Aceh.
“Pada ujung cerita film tersebut membuat Evan semakin mencintai Aceh secara sebenarnya,” pungkas Hamdani.
