Oleh: T.A. Sakti
TAHUN 1976 saya melakukan alih aksara Kitab‘Umdatul Muhtajin ila Suluki Maslakal Mufridin. Kini, hanya tinggal lima lembar lagi hasil alih akasara itu. Sejak saat itu ketahuilah saya bahwa Syekh Abdurrauf atau Syiah Kuala adalah ulama Aceh yang amat alim dan sangat tinggi ilmu beliau.
Abdurrauf As Singkili bin Ali Al Fansuri, diperkirakan lahir pada tahun 1024 H/ 1615 M di Singkil. Ayahnya bernama Syekh Ali Al Fansuri merupakan keturunan Arab yang menikahi wanita Fansur yang tinggal di Singkil, dari pernikahan tersebut melahirkan Abdurrauf.
Abdurrauf kecil mendapat pendidikan dasarnya di desa kelahirannya terutama dari ayahnya.. Setelah menamatkan pendidikan dasarnya, Abdurrauf melanjutkan pendidikannya di Fansur. Fansur merupakan pusat pendidikan penting dan tempat yang mempertemukan kaum muslim Melayu dengan kaum muslim Asia Barat dan Asia Selatan.
Abdurrauf juga belajar kepada Syekh Syamsuddin As – Samatrani di Banda Aceh..
Belajar ke Arabia
Abdurrauf berangkat ke negeri Arab pada tahun 1052/1642 untuk melanjutkan pendidikannya. Selama di negeri Arab beliau belajar kepada 19 guru yang mengajarkannya tentang berbagai cabang disiplin ilmu dalam Islam dan 27 ulamanya lainnya yang ikut membimbingnya.
Syekh Abdurrauf belajar di sejumlah tempat yang tersebar di sepanjang jalan rute haji, dari Duha di wilayah teluk Persia, Yaman, Jeddah dan akhirnya Makkah dan Madinah.
. Pertemuannya dengan ulama-ulama hebat telah memberikan inspirasi dan terbentuknya wawasan sosio intelektualnya yang lebih luas. Sebagian besar ulama yang menjadi gurunya di Makkah termasuk dalam jaringan ulama yang hebat.
Setelah menyelesaikan pendidikannya di Makkah, ia melanjutkan perjalannya ke Madinah untuk menuntut ilmu di sana. Di kota ini, dia berguru kepada Ahmad Al Qusyasyi dan Ibrahim Al-Kurani.
Syekh Abdurrauf juga menceritakan tentang pendidikannya sendiri pada bagian penutup kitab ‘Umdatul Muhtajin ila Suluki Maslakal Mufridin, yang saya alih aksarakan dari huruf Jawi-Jawoe ke aksara Latin tahun 1976 itu. Beliau menjelaskan bahwa selama di negeri Arab ia menuntut ilmu pada lima belas orang ulama. Yaitu:
1. Abdul Kadir Maurir di Mokha
2. Imam Ali Thabari di Makkah
3. Abdul Kadir Barkhali di Jeddah
4. Abdul Wahid Khusyairi di ‘Ujail
5. Ibrahim Abdullah Ja’man. Syekh Abdurrauf sangat lama belajar pada ulama ini, serta mendapat surat kesanggupan untuk menuntut ilmu pada Ahmad Qusyasyi di Baitul Faqih ibnu ‘Ujail.
6. Ahmad Janah di Baitul Faqih ibnu ‘Ujail
7. Kadhi Ishak Muhammad Ja’man, ahli hadist di Zabid
8. Muhammad Sati Bati di Zabid
9. Abdurrahim di Zabid
10. Siddiq Mazjaji di Zabid
11. Abdullah Adani, qari dari Yaman, di Zabid
12. Kadhi Muhammad di Luhaiyah
13. Kadhi Umar Mahyiddin di Mawza
14. Ahmad Qusyasyi di Madinah
15. Burhanuddin Maula Ibrahim al Kurani di Madinah
Kembali Ke Aceh
Selama sultan Iskandar Tsani memerintah, beliau menunjukan Nurudin Ar Raniry sebagai Mufti kerajaan Aceh.
Pengangkatan Nurudin Ar Raniri sebagai Mufti Kerajaan Aceh menyebabkan terjadinya pergolakan antara pengikut aliran Wujudiyyah dengan pengikut Nurudin Ar Raniri sehingga terjadinya pemburuan pengikut Hamzah Fansuri dan pengikut Syamsuddin As Samatrani dan pembakaran kitab-kitab yang dikarang oleh dua ulama tersebut karena dianggap sebagai aliran sesat di depan Mesjid Raya Baiturrahman.
Perlu saya tambahkan, menurut buku Daftar Katalog Kitab-Kitab di Dayah Tanoh Abee, Seulimuem, Aceh Besar, bahwa sebagian kitab karya Syekh Hamzah Fansury dan Syekh Syamsuddin As-Sumatra-i (Syekh Syamsuddin Pasai) masih tersimpan di Pustaka Dayah Tanoh Abee itu.
Akibat tak punya jaringan ke sana, saya tak berkesempatan melacaknya!.
Pergolakan antara dua golongan tersebut terus berlanjut sampai pada masa Sultanah Safiatuddin (1641-1675).
Di awal masa pemerintahan Sultanah telah terjadi pertukaran Mufti (Qadhi Malikul Adil) dari Syekh Ar Raniry kepada Syekh Saiful Rijal, seorang ulama Wujudiah yang baru pulang ke Aceh.
Melihat kondisi masyarakat yang makin hari semakin bingung dengan perdebatan tersebut, akhirnya Sultanah Safiyatuddin Syah memilih Saiful Rijal sebagai Mufti Kerajaan Aceh dan menyebabkan Ar Raniry pulang ke negeri asalnya Gujarat, India
Pada saat itulah Syekh Abdurrauf pulang ke Aceh setelah mengembara mencari ilmu ketanah Arab selama 19 tahun. Beliau pulang ke Aceh sekitar tahun 1661 setelah mendapatkan Ijazah dari gurunya Syaikh Ibrahim Al Kurani.
Setelah selesai penyelidikan, Sultanah mengangkat Syekh Abdurrauf untuk menduduki jabatan Kadhi Malikul Adil atau Mufti yang bertanggung jawab atas masalah-masalah keagamaan.
Jabatan tersebut dipangkunya berturut-turut pada masa pemerintahan para Ratu di Aceh (Ratu Safiatuddin, Ratu Naqiyatuddin, Ratu Zakiatuddin, dan Ratu Kamalat Syah). Pada hakikatnya pada saat pemerintahan tiga ratu yang terakhir di Aceh Syekh Abdurrauf merupakan orang yang memegang kendali pemerintahan.
Selama menjabat Kadhi Malikul Adil atau Mufti Kerajaan Aceh Darussalam, Syekh Abdurrauf telah menulis 22 judul kitab dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Tarikat Syattariah
Tarekat Syattariah pertama kali muncul di India pada abad ke-15 M. Nama Tarekat Syatariah dinisbahkan kepada seorang tokoh pendirinya yaitu Abdullah asy- Syattar.
Tarekat Syattariah disebarluaskan di kota Madinah dan Makkah oleh dua orang syekh yang sangat terkenal dikota Haramayn, yaitu Ahmad Qusyasyi dan Ibrahim Al Kurani. Sedangkan Tarekat Syattariah disebarkan ke Nusantara oleh Syekh Abdurrauf.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Syekh Abdurrauf merupakan seorang tokoh penengah antara pertentangan dua golongan, yaitu golongan Wujudiah pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani serta golongan Syuhudiah Nuruddin Ar Raniry.
Mengingat begitu ‘hausnya beliau terhadap ilmu pengetahuan” serta agungnya jasa, wibawa atau kharisma Syekh Abdurrauf atau Syiah Kuala semasa hidupnya, alangkah pantasnya beliau diberi gelar “Bapak Pendidikan Aceh” serta diusulkan sebagai Pahlawan Nasional.
T.A. Sakti
*Penulis, adalah penyumbang tulisan mengenai Sejarah Syeikh Abdur Rauf As-Singkili dalam buku “Universitas Syiah Kuala Sejarah dan Nilai”, Syiah Kuala University Press, 2019.
*Tambeh: 1. Artikel ini pernah dimuat dalam rubrik “Jurnalisme Warga” Harian Serambi Indonesia, akhir tahun 2022.
